Rabu, 30 September 2020

 NELANGSA


Kota ini sudah tak lagi sama, 

lampu jalanan tak lagi menyala, 

sunyinya malam kian menyapa,

dan semua tentang kita sudah sirna. 


Dulu, bila letih mengahmpiri, bahumu selalu menjadi sandaran. Bila semua isi kepala begitu  menyebalkankan, kau rumah tempat semua keluah kesah tumpah ruah. Bila semua asa dipatahkan, kau datang menyuguhkan tawa.

Namun, kini semua berubah, bahumu bukan lagi sandaran, dirimu bukan lagi rumah yang menenangkan,  lalu tawamu tak lagi dapatku saksikan. Sungguh nelangsa aku dibuatnya.

Kau yang pergi dan meninggalkan segenap luka, sedang aku tetap disini, bersama semua luka yang ku coba bawa pergi bersama kenangan. Tak apa, aku baik-baik saja tanpamu. Bukankah dulu sebelum bertemu denganmu aku sudah pernah kesepian? pergi saja dengannya yang sering kali kau agung-agunggkan dihadapanku, biar semua rasa dan luka ini ku bungkus rapat-rapat didalam botol duka.

Dalam sunyi paling sepi, ku sisipkan doa untukmu duhai tuan, agar dia yang bersamamu menyuguhkan  bahagia lebih dari aku, mendengarkan semua cerita meski kadang tak bermakna, menuntun saat kau hampir hilang arah dan mendekap kala isak tangis menghampiri. 

Aku tak melayangkan sumpah serapah padamu, sebab sampai detik kalimat ini ditulis yang aku lakukan hanyalah bersyukur dan melambungkan ribuan doa pada semesta agar kau baik-baik saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar