Rabu, 30 September 2020

 NELANGSA


Kota ini sudah tak lagi sama, 

lampu jalanan tak lagi menyala, 

sunyinya malam kian menyapa,

dan semua tentang kita sudah sirna. 


Dulu, bila letih mengahmpiri, bahumu selalu menjadi sandaran. Bila semua isi kepala begitu  menyebalkankan, kau rumah tempat semua keluah kesah tumpah ruah. Bila semua asa dipatahkan, kau datang menyuguhkan tawa.

Namun, kini semua berubah, bahumu bukan lagi sandaran, dirimu bukan lagi rumah yang menenangkan,  lalu tawamu tak lagi dapatku saksikan. Sungguh nelangsa aku dibuatnya.

Kau yang pergi dan meninggalkan segenap luka, sedang aku tetap disini, bersama semua luka yang ku coba bawa pergi bersama kenangan. Tak apa, aku baik-baik saja tanpamu. Bukankah dulu sebelum bertemu denganmu aku sudah pernah kesepian? pergi saja dengannya yang sering kali kau agung-agunggkan dihadapanku, biar semua rasa dan luka ini ku bungkus rapat-rapat didalam botol duka.

Dalam sunyi paling sepi, ku sisipkan doa untukmu duhai tuan, agar dia yang bersamamu menyuguhkan  bahagia lebih dari aku, mendengarkan semua cerita meski kadang tak bermakna, menuntun saat kau hampir hilang arah dan mendekap kala isak tangis menghampiri. 

Aku tak melayangkan sumpah serapah padamu, sebab sampai detik kalimat ini ditulis yang aku lakukan hanyalah bersyukur dan melambungkan ribuan doa pada semesta agar kau baik-baik saja.

Jumat, 25 September 2020

 KITA


Kita pernah menjadi ramai disudut paling sepi, 

saling mengisi saat sunyi kian menghampiri,

menjelma bayang-bayang dalam rangkaian peristiwa, 

mengukir goresan bahagia didalam dada.


Aku berjuang melukis senja  untukmu,

namun kau lebih menyukai malam.

dalam bait-bait sajak ku selalu kuselip kamu,

sedang dalam kau, selalu dia yang kau tuangkan,

aku senang bisa menunggumu,

tapi hanya dia yang bisa memilikimu.


Untuk semua rindu yang menggebu,

mendekap erat kala kelabu.

rasa ini masih milikmu,

dan detik ini, masih, rindu ini untukmu.


tak bisakah kau diam duhai rindu?

dia sudah tak digenggamanku.


Kita, seperti ketidak sengajaan yang diatur baik oleh Tuhan.

tak memaksa.....

tapi aku minta tolong semesta,

beri kekuatan untukku hari esok, serta kebahagiaan untuknya.  


Kamis, 24 September 2020

 Tentang Sebuah Penerimaan


Menyayangimu adalah soal keiklasan. Tak memaksa, tak menuntut, tak pula egois. Hanya saja mengikuti alur kemana semesta membawa. Selalu pasrah akan semua rindu, semua resah dan segala risau bercampur dalam satu wadah. 

Menyayangimu adalah tentang sebuah penerimaan. Menerima jika kau tak membalas rasaku, menerima jika kau memilih bersamanya, menerima jika semua yang pernah dilalui adalah bagian dari canda semesta tentang kita. Kugantung semua pada semesta, entah berakhir bahagia atau duka. Karena, penerimaan dan pengiklasan adalah bentuk mencitai paling tulus. Bagiku kau berhak bahagia, dan aku tak perlu memaksa. 

Biar semua rasa dan segala lara ini kubawa pergi bersama sepi yang paling sunyi. Bersama sepi, ku kubur diam-diam rasa ini direlung sukmaku. Harusnya aku tak perlu mengkhawatirkanmu bukan? awas saja jika dia menyakitimu, aku akan marah dan mencerca semesta.

Semoga rumahmu memiliki sabar seluas lautan, memeluk kala dunia mengasingimu, meneduhkanmu kala hujan ingin membanjiri, menopang kala kau jatuh dan menjadi sandaran kala letih menghampirimu.


Terima kasih, 

terima kasih karena pernah singgah dan menjadi kebetulan yang mendewasakan ☺


Rabu, 23 September 2020

Bersama Sepi


Malam yang sunyi, bersama sajak-sajak puisi yang menemani,

duduk didepan laptop sembari memikirkan diksi-diksi,

semua menggema berisik di dalam kepala untuk diluapi,

tentang semua rasa dan bagaimana untuk menamai.


Kini yang terasa jiwa amat nelangsa,

kau datangkan anak panah dari segala arah,

kau balut aku dengan sembilumu,

kau hantam semua bahagia dengan bongkahan luka.


Sepi dan sunyi dalam relung hati kian memaki,

berharap isi hati bisa diluapi,

tak ada tangga yang mau menopangi,

jatuh berkali-kali dan hanya sendiri.


Tak ada lagi genggaman,

yang tertinggal hanya kenangan,

kau memilih pergi tanpa sepatah kata,

ku coba beranjak agar tak tenggelam dalam duka.


Minggu, 20 September 2020

MONOLOG


Duhai senja.......

bawa aku bermain bersamanya,

kicau burung terus bernyanyilah,

lihat bagaimana senyum indahnya,

lihat bagaimana tawanya kian merekah.


Aku tak punya pilihan, selain jatuh pada senyuman yang menyegarkan itu,

aku dipaksa tunduk pada nurani yang kian mengelabui,

dadaku berdegub rusuh, tak beraturan hingga gemuruh,

aku ingin menyelamimu dalam risau yang sering datang,

aku ingin bersamamu dalam rangkulan malam.


Kau yang tiba-tiba ada,

tanpa pernah memberi aba-aba,

aku ingin bertanya,

bolehkan aku berhenti terpana? 



Bersamamu 


Kau adalah deburan ombak,

yang pecahkan batu karangku,

kau adalah selaksa bunga,

yang ku gambar kala senjaku.


Kala sepi ini kian menghampiri,

kau datang bak mentari pagi.


Genggam erat tiap jemari ini,

seka semua tinta yang bersembunyi di relung hati.

dekap erat tubuh ini,

tak kala nurani mulai mengelabui.

melangkah seiring melewati dimensi,

bersama mewarnai setiap langkah kaki.


Kau adalah ujung sabana yang selama ini kutelusuri,

kau adalah sebaik-baiknya bintang yang menghampiri,

tetap disampingku, bersama coba kita lalui.

Kamis, 17 September 2020

  Bimbang


Aku cemburu pada hujan yang menetes dipelupuk matamu,

aku cemburu pada setiap hembusan angin yang selalu dapat menggapaimu,

aku cemburu pada setiap helai kertas yang menjadi tempat berceritamu,

aku cemburu pada semua tujuan yang menjadi favoritemu,

aku cemburu pada ponsel yang selalu kau cari dikala bangun pagimu.


aku kerap kali ingin mengutuk semesta,

mengapa kita harus berjarak dan berjauhan-jauhan?

tapi disisi lain, aku bersyukur pada waktu yang mempertemukan kita.

sekarang, aku masih saja tak bisa membedakan,

apakah ini benar-benar cinta atau hanya sekedar euforia?


  Penghujung musim semi


Bersama angin, deburan ombak dan senja,

Ku tatap lekat-lekat laki-laki yang ada tepat di hadapanku,

Kulihat dengan seksama bagaimana dia berbicara dibawah senja kala itu,

Kulihat senyumnya, merekah kala jenaka,

Kulihat dua bola matanya yang ada aku didalamnya,

Kulihat bagaimana angin mengayunkan lentik bulumatanya,

Kulihat rambutnya yg mulai bergerak karna angin memainkannya,

Kuperhatikan setiap tutur kata yang keluar dari mulutnya,


Bolehkan aku bertanya duhai tuan?

adakah aku didalamnya atau masih dia yang jadi penantian?